Senin, 06 Oktober 2008

Susur Cikapundung

SUSUR CIKAPUNDUNG INCU ABAH

Jum’at, 3 Oktober 2008, pukul 05.30 s.d 07.15 (hari ke-3 lebaran)

Peserta dewasa UMAN, Wa IMA, Om UNI

Anak-anak: IMAM, NENG, TAQI, ARI, IBAS, AVIS, DIRA, DAUD, ADIK,

Catatan: Abit masih tidur, Muthi dan Amang jalan-jalan ke sekolah alam dan Tanggulan.

Kami mulai menuruni tangga rumah Suwigno (almarhum), masuk ke pintu benteng. Dulunya sawah tempat Wa Uman moro layangan, sekarang berubah menjadi kebun ilalang yang ada jalan-jalan dan kapling-kapling fondasi. Kata Om Uni, asalnya mau dibikin perumahan tapi gak jadi karena izinnya gak keluar. Ada rencana dibikin RS W (Rumah Susun Warga) seperti yang di BuBat dan Caringin. Izinnya pasti keluar karena itu program Yusuf Kalla.

Di atas sebelah Selatan berdiri Asrama Putri ITB, bercat putih berlantai 5 (kayaknya). Hampir 90% rampung tapi belum diisi. Di bawah asrama itu, Wa Uman dulu suka mencari “Su’ung” atau jamur dengan Nandang, Yoyo, Eri, Yuyus, atau Ujang bin Usman. Sekarang tinggal kenangan. Sawah tempat moro layangan berubah menjadi padang rumput. Asyik kalau dibikin acara outbond, kata Wa Ima. Di situ kami berfoto sejenak (Lihat Foto).

Perjalanan dilanjutkan dengan menuruni sungai. Incu Abah senang sekali. Ibas, Imam, Avis, Daud, Adik, Wa Uman turun ke sungai. Menyusuri sekitatar 100 meter. Pas belokan sungai (Arena berenang Wa Uman dulu) kami menyebrang. Ada tanggul batu yang runtuh yang menunjukkan di situ pernah dibikin tanggul. Di atasnya sebuah villa yang belum dihuni menghadap ke matahari pagi. Sebuah Rumah yang di bawahnya mengalir sungai-sungai. Mereka memindahkan surga ke alam dunia.

Berjalan sebentar, kami turun lagi ke sungai. Di pinggir sungai berdiri rumah mewah lainnya. Belum berpenghuni pula. Namun, akses dari Rancabentang langsung ke rumah tsb sudah bagus, jalanan hotmix. Ada sekita 60 meter pinggng air sungai dibentengi fondasi setinggi 2 meter. Air sungai yang lurus itu airnya beriak-riak tanda dangkal. Kami bermain-main sejenak.

Perjalanan di lanjutkan karena tujuan kami adalah Kampung Padi, dimana rumah Bi Empit sedang dibangun. Ternyata kami menemukan sebuah pesantren baru kayaknya. (Waktu Wa Uman kecil Tidak Ada). Di papan pintu gerbang menghadap sungai tertulis: “Pesantren Anak Yatim Gratis Nurul Huda, Menerima Santri Anak Yatim atau Tidak Mampu”. Di depan pintu gerbang itu kami menyebrang karena ada jembatan kecil muat dua orang berselisihan. Di seberang sana langsung rumah penduduk di pundan berundak-undak. Jalannya curam, tapi ada juga orang punya motor. Terbayang kalau motor itu tancap gas dan ngerem tiap hari. Ternyata jalan itu masuk ke perumahan elite Kampung Dago. Rumah-rumah itu mirip vila atu gedung-gedung di Sinetron. Akhirnya, kami belok kanan pulang ke jalan Cisitu Indah VI, tidak jadi ke Kampung Padi.. Di jalan itu kami bertemu Amang dan Muti yang habis jalan-jalan dari Tanggulan. Juga kami menemukan anak “oray welang ” yang berhasil dibunuh Om Uni. Kasihan badannya penyek kena hantaman batu Om Uni di sebuah selokan kering.

Juga kami bertemu Abah di atas rumah Solihin GPK. Rupanya Abah, Amang , Muthi ingin menyusul, cuma keburu ketemu di jalan itu yang jaraknya dekat-dekat 500 meter lagi dari rumah Abah. Sampai rumah, kami mandi dan makan.

--- o0o ---